The Murder of Roger Ackroyd
Andai
pria eksentrik yang sudah pensiun dari profesinya itu tidak memilih
kota kecil bernama King’s Abbot untuk melewatkan masa tuanya dengan
bertanam labu, pasti pembunuhan itu takkan pernah terungkap.
Serangkaian
peristiwa kematian telah terjadi di kota kecil King’s Abbot. Setelah
Mr. Ferrars meninggal—banyak orang menduga ia diracuni istrinya—kini
King’s Abbot tiba-tiba dikejutkan oleh kematian sang janda itu sendiri.
Di rumah Dokter Sheppard terjadi pembicaraan seru akan penyebab kematian
Nyonya Ferrars. Caroline, kakak perempuan Dokter Sheppard yang
kerjaannya mengorek informasi—dan menyebarkannya secepat ia
mendapatkannya—yakin bahwa Nyonya Ferrars bunuh diri karena menyesali
perbuatannya. Benarkah demikian?
Selama
ini desas-desus telah menyebar di kota bahwa Nyonya Ferrars adalah
kekasih Roger Ackroyd, pria terkaya di kota yang memiliki rumah besar
bernama Fernly Park. Kematian Nyonya Ferrars mengejutkan Ackroyd, maka
ketika ia berjumpa dengan Dokter Sheppard sahabatnya, Ackroyd pun
mengundang sang dokter untuk makan malam di rumahnya.
Sementara
itu keluarga Sheppard memiliki hal lain yang patut diperdebatkan. Yaitu
kedatangan tetangga baru misterius mereka di rumah sebelah. Seorang
pria tua pensiunan dari—entah apa pekerjaannya—yang ingin menyendiri
dari kebisingan dunia. Caroline yang jago mengorek rahasia orang pun
menyerah kalah dan tak bisa menebak jati diri pria misterius yang sedang
gemar bertanam labu itu.
Kembali
ke Fernly Park, saat Dokter Sheppard datang untuk makan malam, kita pun
diperkenalkan kepada tokoh-tokoh kisah ini. Ada Mrs. Ackroyd, ipar
Roger Ackroyd yang menjanda; lalu Flora Ackroyd putrid semata wayangnya.
Lalu para bawahan Ackroyd: Raymond sang sekretaris efisien, Mrs. Russel
si pengurus rumah tangga, dan Parker si kepala pelayan. Dari luar
keluarga, ada Hector Blunt—sahabat keluarga yang pendiam dan sedang
menginap di sana. Sebenarnya Ackroyd memiliki seorang putra yang bandel
dan sering terlibat kesulitan bernama Ralph Paton, yang saat itu sedang
jauh dari rumah.
Malam
itu merupakan malam terakhir Roger Ackroyd di dunia. Karena hanya
beberapa saat setelah Dokter Sheppard tiba di rumah kembali, sebuah
panggilan telepon masuk membawa berita bahwa Roger Ackroyd ditemukan
telah meninggal dunia di ruang kerjanya. Pasti itu terjadi gara-gara
surat yang diterimanya malam itu. Surat terakhir Nyonya Ferrars yang
mungkin akan mengungkap jatidiri orang yang selama ini memerasnya.
Pemerasan yang harus ia alami karena ada orang yang mengetahui bahwa ia
telah meracuni suaminya. Pemerasan yang terlalu menekannya sehingga
membuatnya mengambil keputusan untuk bunuh diri. Itulah sebabnya Roger
Akroyd kini harus mati…
Polisi
segera dipanggil, dan penyelidikan pun segera berlangsung. Namun Flora
Ackroyd secara pribadi mengajak Dokter Sheppard untuk berkunjung ke
rumah si tetangga misterius, yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah
Hercule Poirot yang sedang menjalani masa pensiunnya! Ya, M. Poirot
sang detektif ternama yang telah membongkar banyak misteri pembunuhan
itu ternyata tinggal di King’s Abbot. Dan gara-gara pembunuhan Roger
Ackroyd, buyarlah rencananya untuk menyepi sambil bertanam sayuran.
Seperti
biasanya Hercule Poirot langsung beraksi dengan
keunikan-keunikannya—dibantu oleh sel-sel kecil kelabu otaknya yang
sangat dibanggakan itu. Menggantikan posisi Hastings, sahabat yang
dikasihi dan dirindukannya, ia menawarkan kesempatan kepada Dokter
Sheppard untuk menyelidik bersama. Satu persatu petunjuk terkuak, dan
tiap kali selalu menunjuk ke Ralph Paton sebagai pelakunya. Motif,
kesempatan, dan kenyataan bahwa Ralph menghilang begitu saja begitu
pembunuhan itu terjadi. Benarkah ia pelakunya? Atau seperti biasanya, si
pelaku adalah orang yang paling tak mungkin sebagai pelakunya?
The
Murder of Roger Ackroyd ini ditulis dalam bentuk sebuah catatan yang
ditulis oleh Dokter Sheppard (mencontoh Hastings). Dengan demikian,
kisah ini dituturkan dari sudut pandang orang pertama. Dengan piawainya
Agatha menulis buku ini seolah memang ditulis oleh pribadi Dokter
Sheppard. Seolah lewat kisah ini pula kita mengenal Dokter Sheppard
secara personal. Yang jelas, ada perbedaan yang signifikan dengan gaya
penulisan kasus Poirot yang dikisahkan oleh Hastings.
Sebenarnya
ini adalah kali ketiga aku membaca buku ini. Waktu pertama membaca, aku
baru bisa menduga-duga pelakunya pada bab terakhir. Dan memang, kasus
ini adalah kasus yang paling tak terduga endingnya dari semua karya
Agatha Christie yang pernah kubaca. Bahkan saat kedua dan ketiga aku
membaca ulang, aku masih terkesima dengan kepiawaian Agatha untuk
menyusupkan petunjuk-petunjuk mulai dari awal kisah. Seperti yang selalu
dikatakan Poirot kepada Hastings maupun Dokter Sheppard, kita selalu
disediakan semua petunjuk yang ada dari semula. Yang harus kita lakukan
adalah tidak mempercayai suatu fakta sebelum terbukti kebenarannya.
Dengan membersihkan otak (dan emosi) dari semua praduga, maka mungkin
kita akan bisa menyelami pikiran Hercule Poirot dengan sel-sel kelabu
kecil milik kita sendiri. Tapi…kalau kita telah tiba pada tahap itu,
bukankah membaca novel misteri Agatha Christie akan menjadi membosankan?
Aku pribadi lebih suka menikmati kisah-kisah ini apa adanya, apalagi
Agatha selalu menyediakan studi psikologi yang menarik dari profil
pembunuhnya, seperti juga si pembunuh Roger Ackroyd di kisah ini. Sangat
menarik!
Pembunuhan
Atas Roger Ackroyd—yang menjadi judul terjemahan buku ini—merupakan
salah satu dari 3 karya terfavoritku dari Agatha Christie. Buku ini juga
satu-satunya karya Agatha yang masuk ke dalam daftar 1001 books to read
before you die. Lima bintang untuk buku ini!
Judul: The Murder of Roger Ackroyd
Judul terjemahan: Pembunuhan Atas Roger Ackroyd
Penulis: Agatha Christie
Penerjemah: Maria Regina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 1990
Tebal: 338 hlm
Untuk A Classic Challenge bulan Februari yang kedua, aku mengambil seorang tokoh dari buku The Murder of Roger Ackroyd by Agatha Christie (awas **SPOILER** Jangan teruskan membaca kalau anda belum membaca bukunya!) :
**Dokter Sheppard**
What phrases has the author used to introduce this character?
Inilah
uniknya! The Murder of Roger Ackroyd ini ditulis seolah-olah sebagai
catatan yang ditulis oleh Dokter Sheppard sendiri, maka tentu saja tak
pernah ada perkenalan khusus terhadapnya. Kita hanya membaca terus, dan
akhirnya tahu sepotong demi sepotong tentang dirinya. Dan setelah
kupikirkan lagi, ternyata hingga tamat membaca, aku masih belum “kenal”
sepenuhnya dengan Dokter Sheppard. Mungkin karena ia memang tak suka
menonjolkan diri di dalam tulisannya, persisi seperti kata Hercule
Poirot.
What are your first impressions of them?
Aku
membayangkan Dokter Sheppard sebagai pria tua yang “lembek” dan tak
berani melakukan hal-hal besar. Hal itu juga tersirat dari perkataan
Caroline bahwa Dr. Sheppard selalu lemah dalam kepribadian. Juga dari
fakta bahwa menurut Hercule Poirot, Dr. Sheppard selalu “sembunyi di
balik layar” dalam catatan yang ditulisnya mengenai kasus pembunuhan
Roger Akcroyd.
Find a portrait or photograph that closely embodies how you imagine them.
Sosok Dokter Sheppard dalam film
How has the character changed?
Meski
awalnya aku mengira Dr. Sheppard tak berani melakukan hal-hal besar,
tapi kenyataannya, ia justru sanggup membunuh dengan darah dingin.
Has your opinion of them altered?
Saat
pertama membaca, aku memang menganggap Dr. Sheppard sebagai pengganti
Hastings, yakni pendamping Poirot dalam menyelidiki suatu kasus,
sekaligus menuliskannya sebagai (calon) buku. Tapi saat mengetahui
endingnya, yah…tentu saja kini aku melihat Dr. Sheppard sebagai
pembohong. Tapi kalau melihat bahwa ia memang berkepribadian lemah,
sebenarnya tak heran juga bahwa ia akan jadi pemeras.
Are there aspects of their character you aspire to? or hope never to be?
Tak
ada yang layak diteladan dari sosok Dokter Sheppard, justru aku
berharap takkan pernah keinginan untuk membunuh melintas di pikiranku
walau sedetikpun, seburuk apapun keadaanku. Selalu ada titik terang di
ujung terowongan gelap!
What are their strengths and faults?
Kekuatannya?
Hmm…harusnya keahlian Dokter Sheppard dalam mengutak-atik mesin
digunakan untuk hal yang lebih berguna, ketimbang untuk menciptakan alat
bantu pembunuhan…
Kelemahannya
sangat jelas. Uang. Serakah. Itulah yang awalnya membuat ia melihat
peluang untuk melakukan pemerasan. Lagipula sosok seperti Dokter
Sheppard hanya focus pada diri sendiri, tak sekalipun ia memikirkan diri
Ralph Paton yang hendak ia jadikan kambing hitam. Ia juga tak menyesali
perbuatannya pada Nyonya Ferrars yang membuat si janda bunuh diri, atau
pada Rober Ackroyd yang selama ini mempercayainya.
Do you find them believable? If not, how could they have been molded so?
Di dunia ini sangat banyak pribadi-pribadi lemah, tamak seperti Dokter Sheppard.
Would you want to meet them?
Tidak. Sama sekali tidak!
Membaca
sinopsis novel ini sudah cukup untuk membuatku memutuskan tuk membeli
buku ini. Kenapa? Apakah karena ceritanya yang tegang? Bukan! (kan aku
belum baca?) Pertama-tama karena ada nama Hercule Poirot di sinopsis
itu, dan kedua karena ada ‘pudding natal’. Alasan yang romantis ya?
Entah kenapa, aku suka dengan novel-novel yang menceritakan dengan
detail tentang makanan. Apalagi makanan ala Inggris, Perancis atau
Italy. Masih ingat kan dengan Lima Sekawan? Aku paling suka dengan
bagian ketika mereka akan piknik, dan dari rumah dibekali dengan makanan
yang (kedengarannya) enak-enak itu. Membacanya saja sudah bikin aku
ngiler.
Nah, ternyata aku tidak salah.
Novel ini adalah kumpulan cerita misteri. Cerita utamanya berjudul
Skandal Perjamuan Natal, dengan Hercule Poirot sebagai detektifnya.
Settingnya adalah pas hari Natal, dengan perjamuan ala Inggris kuno
dengan ayam isi, kalkun, dan pudding plum dengan saus kental yang dicampuri sedikit brandi. Tuh kan...bikin ngiler ga?
Aku jadi teringat pada perayaan
Natal khas keluarga kami waktu aku kecil dulu. Sorry ya tante Agatha,
cerita tante aku ulas belakangan, abis pengen share dulu kenangan indah
masa kecilku pas Natal...
Waktu aku umur 10-12 tahunan,
kondisi keuangan keluarga kami sudah mulai membaik, namun waktu itu kami
belumlah serius menjalankan ibadah kami. Kami menganggap Natal sebagai
sebuah pesta kecil keluarga yang harus dirayakan. Perayaan itu selalu
jatuh pada malam Natal, yakni tgl. 24 Desember. Beberapa hari sebelumnya
kami sudah mengeluarkan pohon Natal plastik beserta semua mainannya,
lampu-lampunya dan hiasan lainnya. Jaman itu, belum ada pohon Natal yang
langsung jadi, melainkan harus dirakit. Perakitan itu kami kerjakan
bersama-sama, aku, mama dan papaku. Dari batangnya dulu, lalu
menancapkan kelompok daun-daun cemaranya. Habis itu melilitkan lampunya,
lalu menggantung mainan-mainannya, dan terakhir menancapkan bintang
besar di puncak cemara. Setelah selesai, kami akan mencoba menyalakan
lampu-lampu Natalnya untuk mengecek apakah ada bolam yang mati dsb.
Pohon Natal itu lalu kami letakkan di meja sudut di ruang tamu kami.
Untuk hidangan malam Natal,
mamaku biasanya memasak sendiri, dibantu oleh pembantu setia kami waktu
itu. Sedang untuk kue Natal, kami memesan di toko kue. Kue Natal itu
sangat khas, namanya Kerstkraans (dalam bahasa Belanda, artinya
‘lingkaran Natal’). Sesuai namanya, kuenya berbentuk seperti donat,
bulat dengan lubang di tengah. Diameternya sekitar 24 cm. Tekstur kuenya
agak kering, mirip dengan Sosisbroot (bener ga ya tulisannya?). Bedanya
kalo sosisbroot diisi daging, Kerstkraans ini diisi kacang tanah dan
almond yang digiling halus. Lalu bagian luar kuenya diberi lapisan gula
dan ada taburan kismis dan manisan kulit jeruk. Enak sekali deh rasanya!
Biasanya tgl. 24 sore, setelah
mandi kami langsung mengenakan baju bagus. Heran ya, pesta sendiri di
rumah tapi pake baju bagus? Begitulah tradisi kami. Lalu ketika hari
mulai gelap, sekitar jam 6 kami mulai menutup korden (biar ga diganggu
tamu!), mematikan lampu ruang tamu, lalu memasang lampu pohon Natal.
Wow...sampai sekarang pun aku paling suka ngeliat lampu-lampu kecil
berwarna warni yang bergantian berkerlap-kerlip itu. Rasanya ada suasana
yang damai dan ayem. Oh ya ada yang kelupaan. Biasanya sebelum hari H
kami juga telah menyiapkan kado-kado. 2 buah kado untuk masing-masing
orang, jadi total ada 6 kado, yang akan dibungkus kertas kado, lalu
ditaruh di kaki pohon Natal. Tentu saja kado-kado itu bukan
barang-barang yang mahal. Cuma kotak pensil buatku, atau sebuah buku
buat papa, atau seperangkat cermin dan sisirnya untuk mama. Memang
semuanya hanya untuk fun saja.
Nah, diiringi dengan lagu-lagu
Natal yang syahdu dari kaset, kami mulai makan kue Natal (biasanya sudah
kami potong-potong lalu disajikan di dua piring berbentuk daun). Lalu
kami saling bertukaran kado, membuka kado, sambil ngobrol. Kadang-kadang
papaku yang hobi fotografi, mengabadikan momen-momen ini dengan
kameranya. Lalu ketika sudah pk 7, atau ketika kami sudah mulai lapar,
kami akan pindah ke ruang makan. Hidangannya biasanya Sup Merah,
disajikan di mangkuk-mangkuk kecil, lengkap dengan sepotong roti tawar
untuk dicelupkan ke kuah sup. Saat-saat ini biasanya mamaku mengeluarkan
perangkat makan spesial, hadiah perkawinannya dulu (hebat ya barang
pecah belah jadul, tahan sampai bertahun-tahun). Kemudian disambung
dengan satu hidangan utama. Favoritku adalah Spaghetti Bolognese
(hidangan utama bisa berbeda-beda tiap tahun). Harus kuakui, resep
Spaghetti milik mamaku ini yang paling top dibanding dengan milik
restoran manapun!.
Setelah itu kami cuma
ngobrol-ngobrol di ruang tamu lagi sambil terus mendengarkan lagu Natal
(dan aku menonton lampu Natal sambil terus terpesona..). Setelah perut
tidak terlalu kenyang, kami makan Longans kalengan yang diberi es batu.
Hmmm...nikmat. Dan itulah perjamuan Natal ala keluarga kami. Memang
tidak seru karena cuma bertiga, namun momen-momen itu begitu
menggoreskan kenangan bagiku yang selalu kuingat sampai kapanpun.
Saat aku telah dewasa, dan
ortuku mulai ‘bertobat’, kami lebih mementingkan malam Natal untuk
mengikuti misa di gereja. Pohon Natal tetap ada, tapi yang langsung jadi
dan ukurannya kecil. Tapi ritual itu sudah tak pernah kami lakukan
lagi....
Nah, sekarang kembali pada
Perjamuan Natal ala Inggris kuno, dimana Hercule Poirot diundang untuk
melacak permata batu delima yang hilang, tentu saja di novelnya tante
Agatha, bukan di rumahku yak! Anehnya sebelum perjamuan, Poirot mendapat
peringatan untuk tidak makan pudding plum yang akan dihidangkan. Ada
ritual yang unik dalam cerita ini yang berkaitan dengan hidangan khas
Natal itu, pudding Natal. Dalam pudding akan disisipkan kancing baju,
cincin dan uang logam. Kalo pas makan seseorang dapet kancing, berarti
ia akan jadi perjaka seumur hidup (kebetulan yang dapet Poirot!! Cocok
kan?), yang dapet cincin mungkin akan menikah ya? Yang tak
disangka-sangka dan jelas tak ada dalam tradisi, si tuan rumah malah
menggigit batu delima yang hilang itu.
Lebih seru lagi, beberapa anak
muda di pesta itu ingin memberikan lelucon buat Poirot dengan sandiwara
pembunuhan. Salah satu dari mereka pura-pura menggeletak jadi mayat,
pake cat merah yang menyerupai darah dan ada jejak-jejak kaki juga di
atas salju. Tentu saja Poirot takkan terkecoh, justru para anak muda itu
yang gantian melongo ketika mendapati bahwa si ‘mayat’ benar-benar
seperti sudah tak bernyawa! Pemecahannya ternyata simpel sekali, karena
memang ini sebuah kisah misteri ringan. Tapi tetap saja menarik!
Yang jauh lebih menarik justru
kisah kedua. Masih bertokoh-kan Hercule Poirot, kisah yang berjudul
Misteri Peti Spanyol ini sangat menarik. Ada intrik cinta dan cemburu,
dan pembunuhannya sendiri mirip sebuah seni. Seperti biasa khas Agatha,
tak ada darah-darah atau ledakan yang sensasional. Hanya seonggok mayat
yang ditemukan di sebuah peti besar di sebuah rumah. Padahal selama itu,
ada lima orang lainnya yang sedang berpesta, minum-minum dan
dansa-dansi di ruangan di mana peti itu berada. Padahal, si korban:
Arnold Clayton juga diundang ke pesta itu, namun tak bisa datang.
Jika saja Poirot tidak
tergelitik untuk memecahkan misteri kasus ini, sang tuan rumah: Mayor
Rich atau pembantunya akan langsung dihukum karena pembunuhan. Habis,
siapa lagi yang mungkin membunuh si korban dan memasukkannya ke dalam
kotak? Namun..apa benar mereka melakukannya? Di sinilah kecerdikan
Poirot akan diuji. Dan seperti biasanya juga, tante Agatha selalu
membeberkan semua fakta dengan gamblang. Tinggal kitalah yang ditantang
untuk beradu kepintaran dengan Poirot (atau dengan tante Agatha
tepatnya?). Ah..aku menyerah deh! Mending menikmati saja kisah
pembunuhan berseni ini.
Sebenarnya ada 4 kisah lagi
dalam kumpulan cerita ini, selain 2 kisah utama itu. Hercule Poirot
muncul di tiga kisah diantaranya, dan sebuah kisah - yang diibaratkan
tante Agatha sebagai makanan pembuka pada sebuah jamuan Natal. Kisah
ini, Greenshaws’ Folly, adalah satu-satunya kisah Miss Marple di
kumpulan cerita ini. Tapi, untuk menutup postingku ini, aku hanya akan
beberkan sebuah kisah yang menurutku cukup menarik dari judulnya: Buah
Blackberry. Mungkin anda akan teringat pada gadget yang sekarang lagi
beken, tapi sebenarnya aku mengharap ada cerita-cerita tentang makanan
lagi. Hehehe...Dan ternyata memang benar.
Kali ini Poirot tergelitik pada
kebiasaan seorang tua nyentrik yang suka makan di restoran yang sama
selama 10 tahun. Harinya selalu Selasa dan Kamis, waktunya selalu
setengah delapan malam. Menunya juga selalu sama. Info ini ia dapat
ketika sedang makan ayam kalkun isi kenari
(tuh..benar kan, makanannya mengundang selera?) bersama sahabatnya di
resto yang sama. Si pelayan bingung, karena si tua pernah sekali ke
resto itu pada hari Senin, dan memesan makanan yang tak biasa: sup tomat kental (padahal ia tak pernah pesan sup kental), dan juga kue tar buah blackberry, padahal tak pernah suka blackberry selama ini.
Sahabat Poirot, seperti mungkin
banyak orang lain, akan menganggap enteng sesuatu yang di luar kebiasaan
ini. Mungkin si tua sedang gundah, jadi tidak sadar akan apa yang
dipesannya. Padahal menurut Poirot, orang yang sedang gundah justru akan
secara otomatis melakukan sesuatu yang biasa ia lakukan, ia takkan
ingin mencoba sesuatu yang baru. Masuk akal juga teori psikologis ini!
Maka ketika si tua dikabarkan menginggal di rumahnya karena jatuh dari
tangga, Poirot langsung curiga bahwa si tua dibunuh. Hebat kan?
Mencurigai sebuah pembunuhan hanya karena kue tar blackberry? By the
way, tahukah anda kalo buah blackberry itu membuat gigi menghitam? Satu
lagi pelajaran dari tante Agatha kita yang tersayang. Bagi Poirot, itu
salah satu cara menemukan pembunuh di kisah ini...
Akhirnya, kalo anda tertarik dengan buku ini, cepetan aja mencarinya karena kayaknya agak langka di toko buku. Ini rinciannya:
Judul buku: Skandal perjamuan Natal (The Adventure of Christmas Pudding)
Pengarang: Agatha Christie
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007
Halaman: 352
Harga: Rp 31.875,- (setelah diskon 15% - bukabuku.com)
Source : http://klasikfanda.blogspot.com/search/label/Agatha%20Christie