Latest News

Saturday, 2 August 2014

Berbeda dalam iman, bersatu dalam cinta Pastoral Khusus Terhadap Keluarga Kawin Campur

Berbeda dalam iman, bersatu dalam cinta

Pastoral Khusus Terhadap Keluarga Kawin Campur

“Saya bukan contoh yang baik,” ujar Mayong Suryo Laksono merendah. “Pernikahan kami beda agama, bukankah itu yang harus dihindari?” lanjut wartawan yang menikah dengan artis Nurul Arifin (kemudian juga anggota DPR) ini dalam sebuah wawancara dengan Majalah Hidup (7/12/2011).

Memang dalam Gereja idealnya adalah perkawinan satu iman. Namun, Gereja Katolik tetap menghormati martabat pribadi setiap orang, kebebasan untuk [tetap] memeluk agama[nya] dan kebebasan nuraninya, dan akhirnya menghormati hak pasangan untuk tetap menikah, walau berbeda keyakinan.

Dukungan dari Keluarga Besar, Lingkungan dan Paroki
 
Walaupun yang diharapkan adalah perkawinan sama-sama Katolik, tidak jarang terjadi, ada perkawinan campur (beda agama atau beda Gereja). Namun, keluarga besar atau warga lingkungan tidak perlu mengucilkan mereka. Yang paling utama adalah sikap yang wajar dan baik pada mereka. Penting juga kunjungan (silahturahmi). Umat, pengurus lingkungan dan pastor paroki bisa mengunjungi keluarga-keluarga itu, entah dalam kesempatan biasa atau kesempatan-kesempatan khusus, misalnya Idul Fitri, dan sebagainya. Ini akan menjadi dukungan bagi mereka itu, dan menjadi bagian penting dari pastoral.

Kata-kata Yesus ini mungkin bisa dikenakan di sini, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga...” (Yoh 10:16). Kalaupun pasangan yang tidak Katolik itu kemudian tidak menjadi Katolik, mereka telah mendapat penggembalaan dan kesaksian akan cinta kasih kristiani. Inisiatif-inisiatif lain bisa diusahakan. Misalnya: paroki mengorganisir pertemuan dengan keluarga-keluarga kawin campur. Di situ bisa diadakan berbagi pengalaman (iman), atau pembinaan-pembinaan tertentu yang perlu, seperti: tentang bagaimana membangun komunikasi atau mendalami bersama kekayaan tradisi-tradisi iman masing-masing.

Menghayati Iman dan Hidup Bersama dalam Suasana Penuh Toleransi

Selanjutnya keluarga-keluarga kawin campur juga punya tugas penting yang mestinya sudah disepakati sejak awal. Pertama, menghayati hidup iman dengan sungguh-sungguh. Gereja memang mengajarkan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain (LG, 15-16; KGK 847-848), tetapi juga menjunjung tinggi nilai iman (LG, 14; KGK 846).

Jadi keliru, misalnya, demi “toleransi” pada pasangan yang berbeda agama, lalu orang menghayati imannya secara setengah-setengan, atau cenderung tak peduli dengan segala sesuatu yang berbau iman/agama. Penghayatan iman yang benar dan mendalam tidak menghalangi toleransi itu. Karena itu, sebagaimana telah disepakati, pihak yang Katolik punya kewajiban untuk mendidik anak-anak mereka sejak awal dalam iman Katolik yang serius.

Di lain pihak, anak-anak perlu tumbuh dalam suasana keluarga yang toleran. Maka, kedua, orangtua sejak awal bisa membangun kebiasaan-kebiasaan toleransi yang baik dengan contoh-contoh kecil seperti: saling mengantar untuk pergi beribadah (ke gereja, masjid), menemani pasangan yang sahur atau buka puasa, atau makan bersama dengan didahului doa secara bergiliran menurut keyakinan masing-masing. Sangat baik, jika anak-anak yang dibesarkan dalam iman Katolik itu juga dibesarkan dalam keterbukaan dan hormat terhadap nilai-nilai tradisi iman dari bapak/ibunya yang berbeda darinya. Karena baik jika di rumah, ada berbagi Kitab Suci, buku dari keyakinan bapa/ibunya yang berbeda, kadang pula, saling bercerita satu sama lain, tentang pengalaman iman dan khazanah kepercayaan masing-masing.

Ada satu kalimat sangat bagus dari St. Agustinus, “Dalam hal-hal esensial: persautan; dalam hal-hal yang masih diragukan: kebebasan; dalam segala hal cinta kasih” (In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas). Ini adalah sebuah prinsip yang sangat bagus untuk keluarga-keluarga kawin campur. Dalam perbedaan keyakinan ada kemerdekaan, tetapi mereka disatukan dalam hal-hal yang esensial (misalnya apa yang penting bagi kebaikan anak-anak dan kebahagiaan keluarga).

Akhirnya, dalam semuanya, yang paling penting adalah cinta kasih. Karena cinta itulah, walau berbeda keyakinan pasangan itu memutuskan untuk membangun satu keluarga.(CAFE ROHANI 08/2014)

Source : Oleh: Ign. Budiono, O.Carm

"Bagi manusia hal ini tidak mungkin tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin."



"Bagi manusia hal ini tidak mungkin tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin."

(Hak 6:11-24a; Mat 19:23-30)

"Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam
Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor
unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam
Kerajaan Allah." Ketika murid-murid mendengar itu, sangat gemparlah
mereka dan berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?"
Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal ini tidak
mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin." Lalu Petrus
menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala
sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" Kata
Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu
penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta
kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas
dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.Dan setiap
orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki
atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya,
akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup
yang kekal. Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang
terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu." (Mat
19:23-30), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Bernardus,
Abas dan Pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:

·   Manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah ketika
meninggal dunia, dengan kata lain kita manusia adalah lemah dan rapuh
serta serba terbatas. Hidup kita sungguh berasal dari Allah dan
tergangtung pada Allah sepenuhnya, maka marilah kita senantiasa hidup
bersama dan bersatu dengan Allah alias hidup baik, bermoral dan
berbudi pekerti luhur. Jika kita demikian adanya, maka segala sesuatu
yang kita dambakan atau harapkan akan mungkin alias dapat terwujud.
Pengalaman saya pribadi' lebih-lebih atau terutama ketika bertugas
sebagai Ekonom Keuskupan Agung Semarang sering harus menghadapi
kegiatan atau proyek besar dengan beaya besar,  sungguh mengesan.
Antara lain ketika menyambut kedatangan atau kunjungan pastoral Bapa
Suci, Yohanes Paulus II, di wilayah Keuskupan Agung Semarang pada
tahun 1988. Waktu itu dalam tempo atau waktu kurang lebih enam bulan
kami harus menyediakan dana kurang lebih Rp.750.000.000,- (tiga
perempat milyard rupiah).   Dengan dan dalam iman kepada Allah, karena
kegiatan yang direncanakan sesuai dengan kehendak Allah, saya percaya
bahwa semuanya akan terlaksana dengan baik alias tak akan kekurangan
dana. Sungguh diluar dugaan atau pikiran saya waktu itu bahwa akhirnya
banyak orang memberikan sumbangan yang sangat besar dengan rela dan
jiwa besar: dana terkumpul sebagaimana direncanakan dan penggunaan
kurang dari yang direncanakan (ada saldo kurang lebih
Rp.200.000.000,-). Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak
segenap umat beriman: hendaknya apa yang anda dambakan atau harapkan
sesuai dengan kehendak Allah serta diusahakan bersama dan bersatu
dengan Allah, karena dengan demikian dambaan atau harapan tersebut
pasti terlaksana dengan sukses.

·   "Berfirmanlah Malaikat Allah kepadanya: "Ambillah daging dan roti
yang tidak beragi itu, letakkanlah ke atas batu ini, dan curahkan
kuahnya." Maka diperbuatnya demikian. Dan Malaikat TUHAN mengulurkan
tongkat yang ada di tangan-Nya; dengan ujungnya disinggung-Nya daging
dan roti itu; maka timbullah api dari batu itu dan memakan habis
daging dan roti itu. Kemudian hilanglah Malaikat TUHAN dari
pandangannya." (Hak 6:20-21). Kutipan ini berbicara perihal Gideon,
yang dipilih oleh Allah untuk menjadi hakim. Malaikat Allah
mendampingi hidup kita sebagai 'malaikat pelindung'; hal itu merupakan
kasih dan kemurahan hati Allah bagi kita manusia yang lemah, rapuh dan
tak berdaya ini. Kami berharap kepada kita semua untuk membuka diri
terhadap bisikan malaikat pelindung kita masing-masing, serta kemudian
melaksanakan apa  yang dibisikkan atau diperintahkan. Ada kemungkinan
malaikat pelindung menjadi nyata atau konkret dalam diri
saudara-saudari kita yang berkehendak baik, maka marilah kita
dengarkan kehendak baik saudara-saudari kita, dengan kata lain kita
komunikasikan atau bagikan kehendak baik kita kepada saudara-saudari
kita dan dengan demikian kita saling berbagi kehendak baik. Percayalah
bahwa kita saling berkehendak baik, maka dambaan atau harapan kita
bersama akan terwujud. Secara khusus kami berharap kepada para
suami-isteri untuk senantiasa saling membagikan dan mendengarkan
kehendak baik, dan kemudian berdua bersama-sama mewujudkan kehendak
baik yang telah disinerjikan. Hendaknya anda sebagai suam-isteri
saling menjaga dan mengingatkan agar tetap setia saling mengasihi
sampai mati.

"Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan
bercium-ciuman. Kesetiaan akan tumbuh dari bumi, dan keadilan akan
menjenguk dari langit.Bahkan TUHAN akan memberikan kebaikan, dan
negeri kita akan memberi hasilnya. Keadilan akan berjalan di
hadapan-Nya, dan akan membuat jejak kaki-Nya menjadi jalan." (Mzm
85:11-14)


Ign 20 Agustus 2013

Source: renunganimankatolik.blogspot.com